Rabu, 12 Mei 2010

Paul Feyerabend: Metode Anarki Ilmu Pengetahuan

Bab 6.
Paul Feyerabend:
Metode Anarki Ilmu Pengetahuan

1. Persoalan mengenai Penggunaan Ilmu Pengetahuan
Pemikiran Kuhn tentang revolusi ilmu pengetahuan dan pemikiran Lakatos mengenai program riset ilmu pengetahun kerapkali digunakan sebagai kerangka teoretis untuk menjelaskan dinamika ilmu pengetahuan. Kedua teori tersebut menunjukkan bahwa di satu sisi ilmu pengetahuan memiliki konsistensi logis sehingga kebal terhadap kritik, namun di sisi yang lain ilmu pengetahuan juga terbuka pada kritik karena temuan data-data baru yang tidak dapat dijelaskan lagi dengan kerangka teoretis yang sudah ada. Seluruh perkembangan ilmu pengetahuan ditentukan oleh temuan data-data baru (Kuhn) atau oleh kritik terhadap hipotesis-hipotesis pendukung dari sebuah program riset ilmiah (Lakatos).
Apa yang dijelaskan Lakatos dan Kuhn mengenai perkembangan ilmu pengetahuan masih berhubungan dengan perkembangan teoretis dan keterikatan ilmuwan dengan teori-teori ilmiah yang ada. Namun perkembangan ilmu pengetahuan tidak selamanya ditentukan oleh perkembangan teori. Segi lain dari perkembangan ilmu dapat dilihat dari penggunaan ilmu itu sendiri dalam masyarakat. Dalam hal ini, perkembangan ilmu ditentukan oleh bagaimana ia diterima dalam masyarakat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat. Teori-teori pragmatis William James dan Charles S. Peirce memberikan perhatian pada dimensi ini. Begitu juga Juergen Habermas yang memperhatikan hubungan antara pengetahuan dan kepentingan turut memberikan penjelasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dari sudut pemanfaatannya dalam masyarakat.
Pemikiran Kuhn tentang perkembangan ilmu pengetahuan dari tahap pra-paradigma ke tahap paradigma dan dari tahap paradigma ke tahap krisis paradigma juga sering dipakai sebagai model untuk menjelaskan kemungkinan perencanaan pengembangan ilmu pengetahuan untuk kepentingan masyarakat dan karena itu untuk memahami perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam cara pandang Kuhn ini kita boleh mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang menurut tiga fase berikut ini:
Fase pertama adalah fase percobaan dan penemuan yang dirintis oleh para ilmuwan amatir. Ini merupakan fase pertama perkembangan ilmu pengetahuan, karena ilmu selalu ditandai oleh penemuan-penemuan yang belum dapat dibuktikan kebenarannya. Fase ini disebut fase amatiran, karena pada fase ini teori yang baru ditemukan belum menjadi konsumsi masyarakat ilmiah dan masyarakat pada umumnya. Dengan perkataan lain, sifat amatiran temuan ilmiah itu menunjukkan bahwa temuan-temuan tersebut belum diterima komunitas ilmiah. Tahap ini dapat dilihat sebagai tahap pra-paradigma.
Yang kedua adalah fase munculnya suatu paradigma, suatu fase yang biasa ditandai oleh perkembangan teori-teori dasar sampai mencapai tingkat kematangannya. Sebuah teori dapat dikatakan matang jika teori tersebut pada tingkat tertentu sudah tidak dapat diterima masyarakat ilmiah, atau menjadi konvensional dalam masyarakat ilmiah. Masyarakat ilmiah melalui otoritas ilmiah memainkan peranan signifikan pada fase ini.
Dan fase ketiga adalah fase pendanaan penelitian ilmiah terapan. Dalam fase ini penelitian ilmiah akan memfokuskan perhatiannya pada masalah pemanfaatan teori ilmiah bagi kepentingan masyarakat. Pada tahap ini seorang ilmuwan tidak lagi berminat membangun teori-teori dasar keilmuan, tetapi membangun teori yang memiliki sifat pragmatis yang besar. Asumsi di balik fase ini adalah bahwa setiap teori ilmiah tidak hanya mengawang-awang, dengan hanya menangkap dan menjelaskan realitas tetapi memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan bersama. Pada fase ketiga ini perkembangan ilmu diukur dengan kriterium kegunaannya dalam masyarakat.
Fase pertama dan kedua bertujuan teoretis. Pada fase ini perkembangan ilmu pengetahuan dipahami sebagai kegiatan menemukan dan merumuskan platt-form teoretis: suatu usaha mencari sebuah pendasaran atau penjelasan teoretis tentang alam yang kita lihat dan alami. Inilah yang menjadi fokus perhatian dari banyak filsuf seperti Carnap, Popper, Hempel, Kuhn dan Lakatos. Dalam perspektif ini filsafat ilmu pengetahuan cukup membicarakan 2 hal: context of discovery dan context of justification. Yang pertama berbicara tentang proses logis temuan ilmiah. Pertanyaan pokok yang dibahas di sini adalah apakah ada sebuah plausibilitas dalam setiap temuan ilmiah, ataukah temuan ilmiah hanya ditentukan oleh faktor-faktor non-logis seperti intuisi dan imaginasi kreatif dan kondisi-kondisi sosial politik masyarakat? Sedangkan yang kedua berbicara tentang logika verifikasi atas temuan ilmiah tersebut. Kebenaran dan kepastian ilmiah merupakan masalah penting yang pantas dibicarakan dalam konteks verifikasi atas teori atau hipotesis baru.
Sementara itu pada fase ketiga, orientasi teoretis berubah menjadi terapan. Teori-teori di sini tidak lagi dikembangkan hanya untuk memenuhi hasrat keingintahuan manusia, melainkan untuk tujuan-tujuan praktis tertentu. Di sini ilmu pengetahuan tidak lagi bersifat netral, melainkan berhubungan dengan sebuah kepentingan dan nilai tertentu, sebuah tujuan yang hendak dicapai. Jadi, tidak ada lagi netralitas terhadap tujuan, melainkan konkretisasi dalam bidang-bidang terapan tertentu.
Fase-fase perkembangan tersebut tentu tidak melepaskan diri dari kerangka paradigmatis masyarakat, karena itu memiliki referensi yang kuat pada pemikiran masyarakat ilmiah tentang perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Para ahli sosiologi ilmu pengetahuan seperti Robert K. Merton memberikan perhatian tentang hal ini. Masyarakat, demikian Merton menegaskan, menentukan perkembangan ilmu mulai dari penerimaan kegiatan amatiran sampai pada penerapan sebuah teori untuk kepentingan-kepentingan yang lebih praktis.

2. Paul Feyerabend dan Metode Anarki
2.1. Berawal dari Realisme
Seluruh kerangka penjelasan Kuhnian sebagaimana dijelaskan di atas berguna untuk melihat jembatan antara kepentingan teoretis dan kepentingan praktis dari ilmu pengetahuan. Tetapi pandangan Kuhnian ini dinilai masih bersifat statis. Dengan menempatkan persetujuan konvensional di antara para ilmuwan sebagai inti paradigma, Kuhn sebenarnya memandang dengan sebelah mata kreativitas individual, yang dalam kenyataannya menjadi pioneer ilmu pengetahuan. Maka persoalan yang belum dijawab Kuhn adalah bagaimana kita bisa mengerti tentang dinamika ilmu pengetahuan dalam kerangka sebuah paradigma. Atau lebih tegas, di mana letak kemungkinan perkembangan ilmu pengetahuan? Apa artinya ‘kedewasaan’ ilmu pengetahuan, jika komunitas ilmuwan menjadi ukurannya? Apakah dengan itu tidak diperlukan lagi terobosan baru dalam ilmu pengetahuan, justru ketika sebuah teori diterima sebagai paradigma? Bagaimana kita menjelaskan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan manakah syarat-syarat bagi perkembangannya, termasuk dalam hal ini penelitian teoretis dan penelitian terapan?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak membawa kita kepada persoalan logic of scientific discovery, logika penemuan ilmiah, melainkan bagaimana ilmuwan sebagai individu dapat mengambil sikap terhadap ilmu pengetahuan sebagai konvensi masyarakat. Dengan perkataan lain, apa yang harus dibangun oleh seorang ilmuwan dalam menegakkan kebebasan ilmiahnya. Bagaimana ia dapat mempertanyakan konvensionalitas pandangan ilmiah yang sudah ada dalam masyarakat dan tidak terjerat pada kerangka metodologi yang baku yang biasa dipakai sebagai kerangka tetap dalam penelitian ilmiah.
Pertanyaan ini membawa kita kepada sebuah penjelasan tentang apa yang sudah lama dikembangkan Paul Feyerabend, seorang filsuf kelahiran Wina, Austria tahun 1924. Sumbangan Feyerabend terhadap permasalahan ini terletak dalam kritiknya terhadap ilmu pengetahuan paradigmatis yang tidak orisinal lagi, tetapi hanya melaksanakan rutinitas metodologis yang baku.
Apa yang coba dikembangkannya tentu tidak bisa lepas dari apa yang sebenarnya sudah dikembangkan Popper, gurunya di London School of Economics. Feyerabend sendiri mengaku bahwa Popper telah merintis jalan yang tepat ketika ia mengkritik induktivisme dalam ilmu pengetahuan. Namun apa yang dikembangkan Feyerabend mengatasi kritisisme Popper. Feyerabend menyebut dirinya sebagai seorang falsifikasionis realis, yang melihat bahwa seorang ilmuwan sejati dapat mempertahankan teorinya mengenai a mind-independent reality. Posisi dasar ini dibangun bersama dengan para fisikawan pertengahan abad ke-duapuluh, seperti Erwin Schroendinger dan David Bohm yang memiliki minat besar pada teori kuantum. Di sini kita mengenal tesis dasar Feyerabend yang utama: setiap interpretasi kita terhadap fakta ditentukan oleh teori yang kita pegang; dan interpretasi tersebut akan selalu mengalami perubahan jika teori kita memang berubah. Dan setiap teori, ia menambahkan, tergantung pada realitas. Hanya realisme yang mengisinkan kita untuk berkembang dalam cita-cita intelektual dari sikap kritis kita, dari kejujuran ilmiah kita, dan dari percobaan dan pengujian yang kita bangun.
Realisme ini tidak identik dengan positivisme yang memberikan perhatian pada pengalaman dan observasi. Dalam pandangan Feyerabend, pengalaman dan pernyataan-pernyataan tentang realitas lebih kompleks dari yang dipikirkan positivisme. Jika positivisme cenderung melihat observasi dan eksperimen sebagai tujuan, maka realisme Feyerabend menegaskan bahwa observasi dan eksperimen selalu membutuhkan interpretasi dan interpretasi yang berbeda-beda senantiasa disumbangkan oleh teori yang berbeda-beda.

2.2. Against Method
Tahun 1975 Paul Feyerabend menerbitkan bukunya yang berjudul Against Method, sebuah buku yang diberi penafsiran oleh para pembaca sebagai sebuah teori pemberontakan: terhadap teori-teori ilmu pengetahuan sebelumnya dan terhadap metode-metode ilmu yang sudah menjadi konvensional di dalam masyarakat. Buku ini pun dapat dilihat sebagai sebuah pemberontakan terhadap apa yang ia yakini sebelumnya tentang realisme ilmiah untuk kebebasan penuh sang ilmuwan. Riset, demikian ia menegaskan, harus berangkat dari kebebasan yang penuh seorang ilmuwan, yang tidak boleh dibatasi oleh pelbagai macam norma dan tuntutan metodologis dan bahkan oleh teori-teori yang sudah dipegang teguh.
Sama seperti J.J. Rousseau yang mencoba mengkritik optimisme politik dan menegaskan bahwa proses sivilisasi masyarakat kita dewasa ini telah menjauhkan manusia dari kodratnya yang alamiah, dan karena itu ia memprovokasi banyak orang untuk retour a la nature, kembali ke alam, Feyerabend melihat masyarakat ilmiah dewasa ini cenderung berpikir statis dan konvensional, dan karena itu ia mengusulkan agar ilmuwan melepaskan diri dari masyarakat ilmiah dan konvensi-konvensi metodologinya untuk kembali ke masa kanak-kanak, yang suka bermain dan berkreasi. Jika banyak orang dewasa ini memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai agama yang harus dipelajari dan ditaati karena ia dipandang sebagai norma bagi masyarakat, ilmuwan yang kreatif harus menjadi seperti anak-anak, mencontohi mereka untuk bermain-main dengan peraturan konvensional atau paradigmatis. Dengan mencontohi anak-anak, demikian Feyerabend meyakinkan kita, ilmuwan menjadi menjadi kreatif: ia dapat mempersoalkan semua keyakinan paradigmatis. Tanpa itu ilmu tidak dapat berkembang dengan baik.
Tujuan dari buku Against Method dengan demikian adalah mendorong para ilmuwan untuk mempersoalkan kembali semua metode ilmiah yang mereka gunakan secara dogmatis, tanpa sikap kritis sama sekali. Setiap ilmuwan harus menjadi ilmuwan yang sejati, dalam arti, harus mengembangkan sebuah metode yang memberi tempat bagi kebebasan berpikir, tidak mengekang diri dalam batas-batas metode yang konvensional, melainkan harus membiasakan diri untuk mempersoalkan semuanya itu. Prinsip dasar metode yang ingin ia bangun adalah: anything goes, lakukan menurut kata hatimu. Dengan prinsip ini Feyerabend tentu tidak bermaksud bahwa kita harus selalu kembali kepada situasi di mana tidak ada pengaruh ilmu pengetahuan lagi: suatu situasi kacau di mana tidak ada lagi metode dan teori-teori ilmiah. Sebaliknya, prinsip ini merupakan senjata untuk memerangi metode dan aturan ilmu pengetahuan yang kaku. Tujuannya adalah agar kita tidak melakukan dan mempertahankan kesalahan. Ilmuwan, Feyerabend menegaskan, bisa saja melakukan kesalahan apa saja sebagaimana halnya setiap manusia dapat melakukannya. Ilmu pengetahuan bukanlah suatu sistem yang murni tanpa kekeliruan. Ia bahkan tidak perlu dibangun sedemikian rupa seolah-olah kekeliruan tersebut tidak mungkin terjadi.
Feyerabend tentu sadar betul bahwa ia tidak berbicara tentang ilmu pengetahuan sebagai sistem tertutup, melainkan sebagai sistem yang berkembang dan bertumbuh dalam masyarakat demokratis, di mana masih ada ruang bagi kebebasan berpikir dan bagi kesepakatan bersama. Dalam masyarakat seperti ini orang mungkin dapat membangun ilmu pengetahuan sebagai sebuah sistem dengan aturan-aturan metodologis yang ketat sebagaimana dicita-citakan kaum positivis bahwa pengalaman, data dan hasil-hasil eksperimen merupakan ukuran keberhasilan sebuah teori; bahwa kecocokan antara data dan teori membuat teori dipertahankan dan bahwa ketidakcocokan antara data dan teori dapat menghancurkan teori itu sendiri. Tetapi apakah aturan metodologis yang ketat menentukan ilmu pengetahuan? Jawaban Feyerabend adalah “Tidak”. Ia tidak yakin bahwa aturan metodologis yang ketat dapat membuat ilmu pengetahuan menjadi kreatif.
Feyerabend memberikan dua alasan untuk jawaban negatifnya itu. Pertama, dunia yang kita ketahui selalu mengandung misteri, sehingga selalu tidak dapat dikenal dengan baik. Dengan alasan ini ilmu pengetahuan harus terus menerus melakukan penelitian, tanpa harus membatasi diri hanya pada metode-metode yang terbatas, tidak membuka diri pada penjelasan-penjelasan lain. Tugas ilmuwan harus selalu membaharui teorinya dan metode yang pakai. Tanpa itu ilmu pengetahuan tidak hanya tidak berkembang, tetapi juga tidak dapat menjelaskan realitas.
Alasan kedua berkaitan dengan perspektif positivistis tentang metode ilmu pengetahuan itu sendiri bahwa metode ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari unsur-unsur subyektivitas manusia. Obyektivitas ditafsir sebagai bebas dari aspirasi dan penafsiran personal; dan metode ilmiah harus sejauh dapat membebaskan ilmu pengetahuan dari kreativitas personal seorang ilmuwan. Dalam perspektif ini, Feyerabend mengungkapkannya secara sinis, metode ilmu pengetahuan tidak lebih dari prosedur yang harus diikuti oleh seorang ilmuwan; ilmuwa tidak diisinkan bertindak di luar batas-batas metode konvensional yang ada. Berkaitan dengan alasan kedua ini Feyerabend pada tempat pertama menawarkan sebuah metode yang ia identifikasikan sebagai sebuah metode anarki. Dikatakan anarki, karena metode yang ia maksud adalah sebuah metode yang membebaskan ilmuwan dari kukungan metodologis yang cenderung membatasi kreativitasnya. Ilmuwan harus dapat berpikir bebas dan melakukan apa yang ia pikirkan cocok untuk dilakukan tanpa harus diatur oleh metode-metode ilmu pengetahuan konvensional.
Dengan metode anarki (anarchistic methodology) Feyerabend tidak bertujuan menimbulkan khaos ilmiah, melainkan membuka suatu kemungkinan yang lebih luas bagi setiap individu (ilmuwan) untuk menunjukkan kreativitasnya karena ia percaya bahwa manusia dalam kreativitasnya akan selalu mengusahakan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan dirinya sendiri.
Feyerabend memiliki 2 alasan untuk menawarkan metode anarki ini. Pertama, karena tidak ada metodologi ilmiah yang tidak rentan terhadap kritik. Bahkan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan justru mengandaikan kerentanan metodologi tersebut. Hal ini tidak hanya menjadi kenyataan historis, bahwa banyak temuan ilmiah terjadi karena beberapa pemikir memilih untuk tidak terikat dengan aturan metodologi yang sedang berlaku, melainkan terlebih karena kerentanan metodologis tersebut merupakan sesuatu yang mutlak perlu bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan alasan ini Feyerabend sebenarnya mau menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah menjadi suatu proses yang lengkap; ia selalu ‘berhadapan’ dengan realitas. Penyederhanaan dan konsistensi seperti dipikirkan oleh Kuhn dan Lakatos tidak pernah menjadi tuntutan atau syarat yang menentukan praktek ilmiah.
Kedua, karena dalam pengamatannya, ilmuwan cenderung tidak membangun sebuah hipotese yang harus dibuktikan secara induktif, melainkan mengusulkan sebuah hipotese yang kontra-induktif. Hipotese tersebut adalah hipotese yang di satu sisi dapat menjadi alternatif dan bahkan menggoncangkan teori-teori lama dan di sisi lain hipotese tersebut mempertanyakan data-data lama yang sudah lama diterima masyarakat ilmiah. Dalam hal pertama, Feyerabend menegaskan bahwa ilmuwan harus terbuka bagi metodologi lain dalam ilmu pengetahuan (pluralistic methodology). Akibatnya adalah dunia ilmu pengetahuan akan penuh dengan ide yang tidak saling cocok satu sama lain (gagasan teologi tentang penciptaan bertentangan dengan gagasan evolusi). Dalam dunia semacam ini, tugas ilmuwan tidak lagi pertama-tama mencari kebenaran, tetapi pertama-tama harus membiasakan diri mengambil bagian dalam kontes ide tersebut sehingga memperkaya kebudayaan manusia. Dan dalam hal yang kedua, setiap teori dapat bertentangan dengan data: bukan karena data-data itu tidak tepat tetapi bahwa data itu sendiri terkontaminasi oleh hipotese lain.
Dengan dua alasan ini Feyerabend menunjukkan secara radikal sikapnya yang anti-positivistis. Merujuk pada alasan pertama seperti dijelaskan di atas, Feyerabend menunjukkan bahwa dalam sejarah ilmu pengetahuan ilmuwan tidak pernah melakukan generalisasi secara induktif untuk melahirkan sebuah teori, melainkan melalui pertimbangan yang benar-benar kreatif dari seorang Kopernikus yang mempelajari dengan baik pemikiran harmoni alam semesta Pythagoras untuk merumuskan pemikirannya mengenai matahari sebagai pusat dari planit-planit, dari seorang Galilei yang mengkritik teori Aristoteles tentang stabilitas bumi, terutama dalam argumen menara (bahwa batu menara akan jatuh bertabrakan tidak ke bawah melainkan ke arah barat jika bumi berputar ke arah timur) untuk menjelaskan peredaran bumi mengelilingi matahari menurut arah jarum jam, dari seorang Newton yang mengikuti teori heliosentrisme sebelumnya untuk merumuskan hukum-hukum peredaran planet mengelilingi matahari, dan dari seorang Einstein yang merumuskan pemikirannya tentang relativitas. Dan merujuk alasan kedua, Feyerabend menjelaskan bahwa pengamatan atas data selalu terjadi dalam rangka sebuah teori tertentu. Tetapi teori-teori itu sendiri tidak pernah menjadi hasil dari kesimpulan logis yang induktif dari data-data. Sebaliknya, dalam situasi normal teori dapat menjadi semakin jelas dan masuk akal hanya setelah diskusi yang panjang dan melelahkan tentang bagian-bagian yang tidak konsisten. Foreplay yang tidak konsisten, yang tidak masuk akal, dan bahkan tidak metodologis merupakan prasyarat bagi kejelasan dan kemasukakalan teori yang dibangun. Dengan kedua alasan ini, kita boleh mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan mensyaratkan prinsip otonomi ilmuwan, suatu prinsip yang menegaskan bahwa ilmu hanya berkembang jika setiap ilmuwan memiliki kebebasan yang sepenuh-penuhnya untuk meneliti menurut kata hatinya sendiri.

2.3. Kebebasan Ilmuwan
Pemikiran Feyerabend mengenai metode anarki ilmu pengetahuan memiliki implikasi yang luas bagi pemikiran kita tentang kebebasan ilmu pengetahuan itu sendiri dan tentang kebebasan masyarakat modern dewasa ini. Feyerabend sendiri menegaskan bahwa dengan gagasan ini ia ingin menempatkan ilmu pengetahuan dalam kerangka gerakan kemanusiaan yang sama dengan apa yang diperjuangkan John Stuart Mill, pada abad kesembilan belas, dalam bidang politik. Sama seperti Mill, Feyerabend berpendapat bahwa dengan memperjuangkan kebebasan kita sebenarnya membangun suatu tatanan kehidupan bersama yang lebih baik. Inilah latar belakang terdalam dari metode anarkinya.
Analogi pemikiran Feyerabend dan Mill ini memiliki 2 implikasi penting. Implikasi pertama berkaitan dengan gagasan unified science, sebagaimana dicita-citakan oleh kaum positivis. Menurut pandangan positivisme setiap ilmu diharapkan membangun sebuah metodologi yang sama untuk mencapai obyektivitas. Dalam ideologi obyektivitas tersebut aspirasi personal dari setiap ilmuwan terabaikan. Bagi seorang Feyerabend, ideologi ini justru mengabaikan kebebasan ilmuwan untuk menentukan sendiri status persoalan ilmiahnya dan metodologinya. Jika dalam bidang sosial politik Mill mendukung kebebasan untuk mendongkrak kecenderungan pengekangan mayoritas dan masyarakat umum bagi tiap-tiap individu, maka dengan metode anarki, Feyerabend ingin memberikan ruang yang lebih besar bagi kebebasan ilmuwan. Dengan perkataan lain, dengan metode anarki Feyerabend ingin membebaskan ilmuwan dari kukungan metodologi konvensional yang berkembang di masyarakat ilmiah.
Selain itu, Feyerabend juga ingin mengkritik ideologi ilmu itu sendiri. Dalam pandangan Feyerabend ilmu pengetahuan tidak pernah menjalankan fungsi pembebasan ketika diinstitusionalisasi dalam masyarakat. Suatu pengamatan sederhana dapat dilihat sebagai contoh tentang hal ini. Dalam sekolah tentu saja ilmu pengetahuan diajarkan. Anak-anak dalam umur sekitar enam tahun sudah masuk sekolah. Dan orang tua masih mempunyai hak untuk menentukan apakah anak-anak mereka boleh belajar agama Islam atau agama Kristen atau agama Budha. Orang tua dan anak-anak mempunyai hak untuk memilih. Tetapi mereka tidak mempunyai hak untuk memilih apakah anak-anak mereka harus belajar fisika, sejarah, astronomi, dan sosiologi. Mereka harus membawa anak-anak mereka ke sekolah dan harus belajar ilmu pengetahuan. Secara prinsipiil kita bisa membayangkan adanya keterpisahaan antara agama dan negara, tetapi tidak ada pemisahan antara ilmu pengetahuan dan negara. Justru dalam hubungan yang semakin erat inilah ilmu pengetahuan memainkan peranan sebagai ideologi, yang menekan kebebasan masyarakat secara langsung.
Bagi Feyerabend, sebaliknya, suatu masyarakat yang bebas hanya terjadi jika setiap warganya, setelah belajar, dapat mengungkapkan pikirannya sendiri dan mengambil keputusan yang paling baik bagi dirinya. Hal ini dapat terwujud jika setiap orang yang belajar ilmu pengetahuan memiliki kesempatan yang sama belajar dongeng atau mite-mite yang beredar dalam masyarakat. Ilmu pengetahuan dengan perkataan lain harus ditempatkan di antara disiplin-disiplin lain dalam kurikulum pendidikan dasar atau menengah. Karena yang dibutuhkan sebenarnya bukanlah ilmu pengetahuan melainkan pengetahuan yang membebaskan. Ilmu pengetahuan, agama, dan mitologi hanya sarana yang kita gunakan untuk tujuan pembebasan itu sendiri. Dalam pandangan Feyerabend, masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang netral terhadap ideologi (agama dan ilmu pengetahuan bisa bersifat ideologis). Masyarakat tersebut harus menjamin agar setiap orang memiliki kebebasan dan agar setiap orang tidak ditekan oleh semua bentuk ideologi, termasuk dalam hal ini ilmu pengetahuan.
Dengan perkataan lain, metodologi anarki memiliki implikasi sosial politik. Feyerabend ingin agar ilmu sendiri harus bebas dari negara dan masyarakat mayoritas. Jika untuk mendukung kebebasan beragama, ilmu-ilmu politik mengenal prinsip Caesari Caesaris, Deo Dei – di mana urusan agama harus dipisahkan dari urusan negara -, maka Feyerabend mengusulkan agar ilmu harus bebas dari urusan negara. Pemisahan ini penting untuk kemanusiaan kita. Dalam masyarakat yang bebas, di mana semua tradisi memiliki hak yang sama untuk berkembang, ilmu, kadang-kadang menjadi penghalang bagi demokrasi. Dan untuk mempertahankan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan itu kita harus menempatkan ilmu pengetahuan di bawah kontrol demokrasi. Dengan demikian, pendekatan anarki ilmu pengetahuan bertujuan demokratis, di mana masyarakat biasa dapat menjadi juri bagi ilmuwan.
Melihat implikasi-implikasi penting dari metodologi anarki ini, saya boleh mengatakan bahwa Feyerabend ingin menempatkan ilmu di tengah-tengah penilaian estetis, metafisik dan religius. Dengan metode anarki, Feyerabend tidak serta merta menolak ilmu pengetahuan. Sebaliknya, tugas ilmu pengetahuan yang baru adalah mengembalikan kebebasan yang sudah ia tenggelamkan selama ini melalui rutinitas metodologis yang kaku. Metode ilmu pengetahuan macam inilah yang tidak diperlukan lagi. Seharusnya, demikian pemikiran Feyerabend, demi kemanusiaan yang bebas ilmuwan secara imperatif harus selalu menuruti kata hatinya: Anything goes.
Bagi saya apa yang ditegaskan Feyerabend ini mengingatkan kita akan cita-cita klasik yaitu: kebebasan ilmu pengetahuan. Urgensi dari pemikiran tentang kebebasan ini dapat dipahami jika kita berhadapan dengan situasi yang menentang kebebasan ilmiah. Situasi pertama adalah sosialisme komunistis yang melihat ilmu pengetahuan sebagai alat kekuasaan atau pembangunan. ‘Planning science’ merupakan kata kunci dari situasi ini. Ilmu dibangun berdasarkan cita-cita untuk membangun masyarakat ideal. Ilmu yang berkembang adalah ilmu-ilmu yang mendukung rencana negara. Motif dari perkembangan ilmu berasal dari luar: yaitu rencana negara.
Situasi lainnya adalah pragmatisme utilitaristis. Dalam pandangan ini ilmu yang berkembang adalah ilmu yang berguna. Dan kegunaan sering ditafsir menurut pertimbangan untung rugi. Seluruh situasi perkembangan ilmu akan mengalami degradasi justru karena tekanan yang berlebihan terhadap dimensi. Ilmu sebagai ‘permainan masa kanak-kanak’ yang kritis terhadap dirinya sendiri tidak pernah dibangun dengan baik lagi.
Dalam kedua situasi ini, ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi pelayanan kebebasan manusia, melainkan kekuasaan dan materi. Obyektivitas yang dikejar-kejar ilmu pengetahuan menjadi sebuah paradoks. Nampaknya Feyerabend mengingatkan kepada kita akan bahaya ideologi obyektivisme. Dalam ideologi ini “an independent scientific thought” malah ditolak. Dan sejarah sosialisme komunistis membuktikan itu.


3. Dari Anarki ke Syarat-Syarat Metodologi Ilmu
3.1. Kritik terhadap Feyerabend
Pemikiran Feyerabend mengundang banyak tanggapan. Di antaranya terdapat tanggapan positif bahwa melalui kampanyenya untuk menolak metode, Feyerabend sebenarnya tidak serta merta menolak semua metode ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia ingin menjelaskan kepada kita bahwa tidak ada metode ilmiah yang a historis dan universal. Setiap metode ilmiah selalu terkait dengan sang ilmuwan yang meneliti, komunitas yang menggunakan hasil penelitian dan konteks historis yang menentukan problem penelitian ilmuwan. Terutama Feyerabend mengkritik cita-cita positivisme yang mengusulkan universalitas metode-metode ilmiah, sebuah cita-cita agar metode ilmu-ilmu alam dimanfaatkan dalam ilmu-ilmu sosial. Cita-cita ini, demikian Feyerabend, tidak melihat bahwa setiap metode berhubungan dengan masalah penelitian atau obyek penelitian: masalah alam berbeda dengan masalah manusia. Dan karena setiap masalah memiliki cirinya yang khusus maka setiap obyek penelitian menuntut metode yang semakin khusus. Tidak ada keseragaman metode. Jika ini yang ingin dikembangkan, maka di sini Feyerabend melontarkan gagasan ‘melawan metode’.
Namun demikian, pemikiran Feyerabend memiliki kontradiksi pada dirinya sendiri. Atas nama kebebasan kita barangkali dapat menghargai kritiknya atas metode ilmu pengetahuan yang berkembang sampai sekarang. Tetapi kebebasan yang ia maksud di sini hanyalah kebebasan negatif. Kebebasan berarti setiap individu harus membebaskan dirinya dari kukungan apa pun agar ia bisa melakukan apa yang ia inginkan. Kebebasan jenis ini disebut kebebasan negatif: kebebasan dari.
Kebebasan macam ini harus diimbangi dengan kebebasan positif: kebebasan untuk, artinya seseorang bebas untuk melakukan sesuatu. Dalam hal kedua ini, kebebasan individu selalu juga berarti memberikan tempat bagi kebebasan orang lain dalam suatu komunitas, di mana ia dilahirkan dan dididik secara khas. Setiap orang dilahirkan dalam suatu komunitas dengan karakteristik yang tidak dapat ia hindari atau tentukan secara bebas. Juga ketika ia masuk sebuah universitas. Di sana ia akan bertemu dengan pelbagai macam teori, teknik matematis, instrumen ilmiah dan teknik-teknik eksperimen. Kebebasan ilmu pengetahuan selalu berkembang dalam situasi obyektif, di mana kebebasan orang lain tidak terhindarkan lagi. Kebebasan orang lain tersebut merupakan batas obyektif bagi kebebasannya.
Selain itu pemikiran Feyerabend mengandung sebuah ironi. Di satu sisi ia, dalam teori ilmu pengetahuannya, menolak gagasan penelitian yang netral terhadap teori, tetapi di sisi lain, dalam teori politiknya, ia justru menyetujui gagasan negara yang netral terhadap ideologi. Di manakah di muka bumi ini ada sebuah negara yang netral terhadap ideologi? Bagaimana persis fungsi dari negara seperti itu? Tampaknya Feyerabend terjebak dalam pemikiran dikhotomi antara totalitarianisme negara dan kebebasan absolut individual. Dengan menolak mati-matian pandang totalitarianisme negara, Feyerabend mencita-citakan sebuah negara utopi, di mana semua manusia dapat melakukan apa yang ia kehendaki, tanpa batas.

3.2. Syarat-Syarat Perkembangan Ilmu
Apa yang dikembangkan Feyerabend ternyata membawa efek yang positif. Kritik yang menjurus kepada penolakan total terhadap metodologi ilmu pengetahuan mendorong para filsuf dewasa ini untuk berpikir lebih konstruktif. Dari pada harus mengabaikan metode ilmu pengetahuan, karena nampaknya kita tidak bisa membayangkan suatu ilmu tanpa metode, beberapa filsuf dewasa ini seperti Stephen Toulmin, Kurt Huebner, Stephan Koerner dan Yehuda Elkana mencoba melihat kembali prasyarat-prasyarat penting yang harus diindahkan oleh ilmuwan. Dalam banyak hal keempat filsuf tersebut secara konstruktif memberikan pendasaran agar metodologi ilmu pengetahuan tidak harus dipahami secara kaku, tetapi memberikan ruang bagi kebebasan ilmu pengetahuan dalam mengembangkan model-model ilmu. Karena itu pula apa yang mereka identifikasi sebagai prasyarat-prasyarat metodologi ilmiah pun tidak harus ditafsir secara kaku. Dalam waktu, demikian pandangan mereka, prasyarat-prasyarat tersebut mengalami perkembangan. Prasyarat-prasyarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pra-syarat ontologis (Koerner). Artinya, bahwa ilmu-ilmu berkembang karena mereka berhadapan dengan bidang-bidang realitas yang berbeda-beda. Perbedaan antara fisika, astronomi, sejarah, dan sastra, semata-mata disebabkan karena berhadapan dengan realitas yang berbeda. Suatu usaha untuk membangun Mathesis universalis seperti yang dibayangkan Descartes atau suatu unified sciences sebagaimana dipikirkan oleh sekolah Wina merupakan usaha yang tidak masuk akal. Memang ada usaha ke arah kerja sama antara ilmu, tetapi membangun suatu basis ontologis yang sama tidaklah masuk akal.
2. Prasyarat sumber pengetahuan (Elkana). Dalam epistemologi umum diketahui bahwa sumber pengetahuan kita adalah pengalaman dan akal budi. Tetapi bagaimana pengalaman dan rasio berfungsi dalam masing-masing ilmu, tidak dapat kita pastikan secara sama begitu saja. Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan variasi yang berbeda dari kemungkinan mengembangkan sumber-sumber pengetahuan tersebut. Bayangkan saja jika kita berbicara tentang pengalaman sebagai sumber pengetahuan ilmiah. Sejarah ilmu pengetahuan menunjukkan perbedaan tekanan pada apa yang dimaksud dengan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Pertama-tama yang dimaksud dengan pengalaman adalah pengamatan. Pada tahap ini pun sudah muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar, apakah yang dimaksud adalah pengamatan sang Aku? Jika demikian bagaimana kita dapat berbicara tentang objektivitas dan intersubjektivitas pengetahuan kita berdasarkan pengamatan tersebut? Ketika Galileo menemukan teleskop, konsep pengamatan itu sendiri mengalami perkembangan yang menakjubkan. Dimensi instrumen pengamatan menjadi sangat penting dalam ilmu. Persoalan sekarang berubah menjadi, dapatkah kita dengan mudah menyalahkan begitu saja ilmuwan-ilmuwan tradisional (aristotelian) yang tidak menggunakan instrumen teleskop, hanya karena kita melihat teleskop lebih meyakinkan. Dan ketika dewasa ini pengamatan ilmiah lebih meyakinkan lagi dengan menggunakan eksperimen menggantikan pengamatan langsung, apakah hal itu juga berlaku bagi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kemanusiaan? Variasi gagasan akal budi juga dapat dilihat dalam sejarah ilmu. Pertama-tama dimensi ini menjadi nyata dalam matematika dan logika. Pertanyaan penting berkaitan dengan pemakaian rasio adalah masalah bukti. Pada abad pertengahan gagasan rasio mempengaruhi konsep intuisi, wahyu, otoritas, dan tradisi. Semuanya ini dapat dianggap sebagai sumber-sumber pengetahuan dalam banyak bidang entah agama maupun ilmu pengetahuan.
3. Prasyarat hirarki sumber-sumber pengetahuan (Elkana). Mengatakan begitu saja tentang sumber-sumber pengetahuan yang berbeda-beda tidaklah cukup. Sumber-sumber pengetahuan memiliki hirarki yang berbeda-beda dalam tiap-tiap ilmu. Bagi ilmuwan Eropa kontinental, penggunaan rasio mendapat tempat pertama, sedangkan ilmuwan dalam tradisi Anglosakson, pengalaman mendapat prioritas. Begitu juga jika kita berbicara tentang tradisi dan otoritas. Ketiga sumber pengetahuan tersebut mendapat urutan prioritas masing-masing. Karena itu tidak dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu berjalan secara sama begitu saja di mana-mana.
4. Prasyarat pembuktian (Hubner). Yang dimaksud dengan prasyarat ini adalah apa yang dapat kita tetapkan sebagai bukti, pendasaran, penerimaan suatu teori, kritik, dan penolakan terhadap suatu teori. Prasyarat nomor 1 sampai nomor 3 belum menjelaskan apakah pengetahuan kita merupakan pengetahuan ilmiah. Persoalan ini merupakan persoalan kriterium: prasyarat apa sehingga pengetahuan kita dapat dikatakan sebagai ilmiah dan benar? Popper telah mengusulkan falsifikasi sebagai kriterium untuk menentukan apakah suatu hipotesis dapat diterima atau ditolak begitu saja. Apa yang dipikirkan Popper ini jelas berbeda dari apa yang diusahakan ilmu-ilmu alam sebelumnya yang sangat mengandalkan matematik dan logika. Semua perkembangan terbaru sebaliknya justru memperhatikan kombinasi antara matematika dan data-data empiris yang dapat dikerjakan dengan baik sekali oleh computer.
5. Prasyarat normatif (Hubner). Prasyarat terakhir ini menunjukkan bahwa semua ilmu memiliki bentuk-bentuk normatif seperti: teori, kemudahan, ketelitian dalam hubungan antara persoalan dan solusi, dan asumsi-asumsi dasar yang kebal terhadap kritik.
Prasyarat-prasyarat ini menunjukkan bahwa metodologi ilmu tidak berkembang secara linear tetapi mengalami perubahan berdasarkan tuntutan-tuntutan baru. Akibat yang nyata adalah bahwa ilmu pada tingkat tertentu menjadi tidak lebih dari semacam usaha mencapai kesepakatan bersama (konvensi) tetapi di pihak karena melalui prasyarat pembuktian ilmu pengetahuan terikat pada kewajiban untuk mencapai kebenaran. Dan kebenaran ini merupakan orientasi dasar dari semua prasyarat-prasyarat metodologis yang dibangun ilmu secara bersama. Jika kritik Feyerabend berusaha memporak-porandakan semua aturan metodologis demi kebebasan ilmiah, maka semua prasyarat metodologis sebagaimana berkembang dalam sejarah, dalam pemikiran filsuf-filsuf kontemporer, tidak pertama-tama membangun konvensi ilmu, melainkan bertujuan agar ilmu pengetahuan terarah pada pengetahuan yang benar. Kebenaran adalah ide regulatif yang mengarahkan semua perangkat metodologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar